12 Februari 2009

Harga waktu ayah

ANDRE, seorang anak yang tiap sore selalu menanti kepulangan ayahnya dari kantor untuk sekedar mengajaknya bermaikn. Suatu sore, sepulang kerja sang ayah ditanya oleh andre, :Ayah, ayah kerja dikantor dibayar berapa sih sebulan ?”

Sembari mengernyitkan dahi si ayah menjawab, “Ya sekitar RP.2.500.000,-“
”Kalau sehari berarti berapa, ya ?” sela Andrea. Ayah mulai bingung “Seratus ribu rupiah, ada apa sih? Ko Tanya gaji segala!”. Akan tetapi, andre bertanya lagi’ “Kalau setengah hari berarti RP.50.000, dong!”

”Iya, memangnya kenapa?” sahut ayah mulai jengkel. Si anak dengan sigap mengajukan permohonan. ”Gini yah, tolong tambahin tabungan andre Rp.5.000,- saja soalnya andre baru punya tabungan Rp 45.000,-. Rencananya andre mau membeliayah setengah hari saja supaya bisa pergi mancing bersama ayah.”



Satu hal yang sering menjadi kendala kita sebagai ayah dalam tatanan keluarga yang tangguh dan harmonis adalah si pencuri waktu. Urusan kantor, bisnis sampingan, maupun kegemaran pribadi acapkali menjadi musuh dalam selimut yang secara tidak langsung merongrong kesempatan emas yang kita miliki untuk cengkrama bersama anak. Dalih yang biasa dipergunakan oleh si pencuri waktu sendiri adalah demi masa depan keluarga, loyalitas kerja atau untuk membiarkan asap dapur ngebul.

Siapa ayah sebenarnya? Ketika masih kecil acapkali anak mengklaim bahwa pahlawan yang paling hebat adalah ayahnya sendiri. Sering pula anak melakukan proses identifikasi dengan ’ke-pria-an’ yang diaktualisasikan sang ayah. Bunyiyang paling menggetarkan didengar oleh sang ayah ketiak pertama kalinya si anak mengatakan ’papa’ atau ’ayah’ atau ’abah’ atau sebutan lain.

Investasi terindah yang dapat kita berikan kepada putra-putri kita adalah waktu dan kualits komunikasi yang proporsional bagi mereka. Zig Ziglar pernah berseloroh dalam seminranya ” kehadiran dan percakapan anda dihadapan anak-anakmu, lebih dari ribuan hadiah”. Kurangnya komuniksi di rumah membuat anak mencari informasi dari dunia luar rumah yang belum tentu benar adanya.

”apa yang ditabur, itu pula yang dituai,” demiian pepatah lama yang masih terngiang jernih dalam ingtan kita. Ketika anak masih kecil, sebagai orangtua (ayah) jarang mendengarkan mereka. Setelah mereka besar, mereka pun akan jarang mendengarkan orangtuanya. Inilah awal mulanya terkenal istilah kenakalan remaja, yang secara tidak sadar dikontribusikan terlebih dahulu oleh kenakalan orangtuanya yang berselingkuh dengan si pencuri waktu.

Bekerja tidak akan meberikan investasi lebih permanen jika dibandingkan dengan memberikan waktu yang cukup untuk anak dan keluarga. Usia 55 tahun merupakan akhir dan perhentian berkarya, namun karya yang diinvestasikan dalam kenangan anak tidak akan berakhir hingga maut memisahkannya. Pilihan tentu ada dalam diri masing-masing!

Dari : Setengah isi setengah kosong – parlindungan Marpaung



0 komentar: