5 Desember 2009

surat cinta

“Tolong ke ruanganku dulu sebentar!” sang bos memintaku untuk menghadapnya. Masih pagi, ada apa gerangan pikirku. “tolong tutup pintunya” bos menimpali.

Ada masalah krusial menyangkut pembuatan promo material seblumnya. Auditnya sudah hampir lebih dari dua atau tiga bulan. Kupikir sudah selesai. Bahkan orang yang mengaudit pun sudah mundur. Rupanya surat cintanya baru keluar sekarang, walau pun secara tanggal juga sudah satu bulan lewat.




Cerita dimulai ketika pengadaan barang harus dengan 3 penawaran. Hal ini sangat bagus karena untuk menghindari adanya praktek-praktek kolusi, korupsi dan nepotisme. Dan secara rutin tim audit internal akan memverifikasi keabsahan penawaran ini.
Pada dataran teknisnya ternyata tidaklah mudah untuk mendapatkan surat penawaran tersebut. Bukan dalam hal suratnya tetapi aspek psikoogis dan moral-begitu kami menyebutnya. Ya meskipun adalah hal yang wajar apabila penawarannya tidak diterima.

Tetapi sebagai pemasar mereka pun tentu tidak akan cepat menyerah untuk terus membina hubungan dan terus memantau penawarannya tersebut. Ujung-ujungnya ada perasaan terkejar atau pun tidak enak hati. Bahkan ada salah satu supplier yang masih terus rutin menanyakan apakah ada proyek meskipun sudah hampir satu tahun tidak lagi menggunakan jasanya karena terbentur harga.

Hal lain yang tak mudah adalah ketika value dari proyek tersebur kecil. Supplier-suplier langganan biasanya mundur karena cost operasional mereka tidak akan mencukupi proyek tersebut. Dari sinilah biasanya awal permasalahannya.

Meski demikian namaya sebuah kesalahan memang harus diakui. Dan surat cinta pun harus diterima dengan lapang dada. Meskipun stelah dicek ternyata pasal yang digunakan bisa dibilang pasal karet-kalau istilah di pengadilan. Ya karena tidak cukup kuat dan masih isa untuk dibantah.

Sisi positifnya adalah reposisi dan penegasan kembali tentang wewenang dan semua aturan main yang ada.



0 komentar: