8 Januari 2009

Traveler (end)

Pulang ke rumah nenek seperti memutar waktu. Kembali ke masa lampau. Era 80an, ketika belum genap sewindu. Polos, bahkan untuk ngobrol pun tak bisa hanya satu kata makan ! maklum bahasa ibu yang kupahami sunda itulahmengapa hampir semua saudara saya tak bisa berbicara jawa.

Ya dari tahun 80an sampai sekarang tak banyak perubahan. Bahkan jembatan untuk menyebrang kali kecil pun masih terbuat dari bambu. Untunglah rupanya aru diperbaiki sehingga tak membuat pakaianku basah. Rumah-rumah tradisional jawa hampir masih utuh semuanya, hanya beberapa saja rumah gaya modern yang ada.



Rumah nenek sama hanya sedikit berubah hanya dibuat semi permanen, tetapi lantainya masih tanah. Di ruang tengah hanya ada meja jati besar dengan satu kursi panjang-tempat aku tidur. Nenek pun tidur di kursi yang sama di ruang belakang. Sedangkan buleku tidur di kamar depan. Hanya ada sedikit peralatan makan, yang cukup untuk 3-5 orang.

Malam tahun baru kali ini memang untuk menyepi. Belum pernah melewatkan pergantian tahun di desa ini. Desa yang asri, jauh dari keramaian, polusi dan hiruk pikuk kemacetan. Pergantian tahun kemarin dilewatkan bersama dengan geng narxiz di lembang. Namun bayangan akan sepinya desa pun buyar. Tepat pergantian tahun letupan mercon membuatku terperanjat. Membuyarkan semua mimpi. Di belakang terdengar riuh suara kambing yang rupanya juga kaget.

Yah era informasi ternyata menerobos masuk jauh ke tengah-tengah kampong. Menggeser sedikit demi sedikit budaya dan gaya hidup. Bahkan jauh di tempat ini. Entahlah mungkin dengan seiringnya waktu tak ada lagi perbedaan gaya hidup orang kota maupun desa, karena di zaman ini semuanya bisa disaksikan bersama, hanya dari sebuah kaca.
Meski demikian desa ini akan tetap di hati. Desa yang asri, sejuk bahkan mungkin untuk menemukan diri. Meski tak banyak waktu tersedia untuk menikmati semua keindahan desa, liburan kali ini sangat puas. Berhasil menemukan apa yang dicari selama ini.
Kini saatnya untuk pulang. Berkaca pada kejadian waktu berangkat maka tak maul ah naik kereta. Ingin rasanya mencoba naik bis. Dari gombong perlu merogoh 8000 perak untuk sampai ke terminal purwokerto. Menumpang bis yang penuh dengan asap rokok dan angin gelebug. Terminal purwokerto-ini kali kedua kakiku menginjak di sini. Waktu itu bersama teman untuk datang ke nikahnya boby.

Sayang! Dari terminal ini tidak ada bis untuk ke garut. Perlu ke tasik terus lanjut ke garut atau naik bandung turun di nagreg. Namun pilihan pertama agak mustahil karena waktu telah menunjukkan jam 5, akan sampai ke tasi sampe jam 8. Sudah tak ada lagi bis. Tak ada pilihan lagi, bis yang tersedia hanya ada aladin itu pun masih lengang. Untunglah tidak banyak ngetem di sepanjang perjalanan. Purwokerto, cilacap, banjar, ciamis hingga sampailah ke tasik. Penumpang hanya 4 orang. Kami pun terpaksa pindah bis. Untunglah kakaku bersedia menjemput di limbangan.

Melelahkan. Jam 10 baru sampai. Tapi tak mengapa. Kudapat apa yang saya cari.

0 komentar: